Ijtima' Ulama III gagal menyepakati hukum umum merokok. Terbelah antara makruh dan haram. Kesepakatan haram tercapai hanya pada kondisi dan subjek spesifik: di muka umum, wanita hamil, dan anak-anak. Pengurus MUI juga haram merokok.
Fatwa rokok jadi sorotan pokok agenda Ijtima' Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia III di Padang Panjang, Sumatera Barat, Sabtu-Minggu pekan lalu. Meski digelar 12 tema bahasan, mulai kelompok masalah strategis kebangsaan, masalah fikih kontemporer, hingga masalah hukum dan perundang-undangan, di empat lokasi terpisah, isu rokok paling menyedot perhatian peserta, peninjau, dan media.
Sejak tingkat sidang komisi sampai sidang pleno, hukum merokok sengaja ditaruh pada bagian akhir karena ditaksir bakal menyita perdebatan paling alot. Inilah satu-satunya tema yang menuai ancaman walkout dari beberapa peserta bila rokok diharamkan mutlak. Sebaliknya, tekanan agar rokok diharamkan total juga tak kalah garang.
Pro-kontra tentang haramnya rokok berporos pada debat tentang kadar manfaat dan bahaya (madharat), baik secara personal maupun sosial. Bagi penyokong rokok haram, betapapun memiliki manfaat, madharat-nya dinilai lebih serius, baik bagi kesehatan pribadi perokok maupun lingkungan perokok pasif sekitarnya.
Secara ekonomi, gaya hidup perokok dinilai mendorong ekonomi biaya tinggi (israf) dan mubazir. Tengku Zulkarnain, peserta dari organisasi Mathlaul Anwar, paling gencar dan panjang lebar meyakinkan peserta betapa mengerikannya bahaya rokok.
Di sisi lain, bagi penolak haramnya rokok, dampak buruk rokok juga diakui, tetapi tidak bisa dipukul rata. Sifatya kasuistis dan relatif. Kadar bahayanya masih dalam dosis yang belum bisa dikualifikasi ''haram mutlak''.
Manfaat rokok, bagi mereka, tidak bisa disepelekan. Terutama manfaat sosial-ekonomi, seperti penyerapan tenaga kerja, kelangsungan hidup petani tembakau, pasokan pendapatan negara, dan kiprah sosial industri rokok. Aspek kesehatan dan ekonomi rokok itu kemudian dikaji dengan seperangkat konsep teoretik tentang mekanisme penggalian status hukum Islam (istinbath).
Ada peserta yang menggunakan argumen general. Menimbang bahaya rokok lebih besar dari manfaatnya, maka rokok otomatis haram mutlak. Premis ini dianalogikan pada ayat Al-Quran yang berbicara tentang minuman keras (khamr). Diakui, minuman keras memiliki manfaat, tapi bahayanya lebih besar (Al-Baqarah: 219).
Didukung pula dengan sejumlah kaidah fikih. Antara lain, ''bahaya harus dibuang'' (al-dharar yuzal) dan kaidah ''mencegah bahaya harus didahulukan ketimbang mewujudkan maslahat'' (dar'ul mafasid muqaddam 'ala jalbil mashalih). Alasan ini dikemukakan Prof. Didin Hafiduddin, Ketua Badan Amil Zakat Nasional, dan Prof. Ali Mustafa Yaqub, Imam Besar Masjid Istiqlal.
Tapi argumen tersebut dibantah peserta lain. Alasan hukum ('illat) haramnya minuman keras bukan karena besarnya madharat, melainkan karena sifatnya yang memabukkan (muskir). Pada saat ayat yang menyebut besarnya madharat khamr turun, status khamr belum haram. Awalnya boleh, kemudian dilarang secara terbatas: jangan menunaikan salat dalam keadaan mabuk (An-Nisa: 43). Larangan mutlak baru muncul ketika turun surat Al-Maidah ayat 90.
Abdurrahman Nafis, pengurus Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur, menyebutkan bahwa status rokok tergantung dua elemen. Apakah mengandung sifat ''memabukkan'' (muskir) atau ''membahayakan'' (mudhir) saja, yang tidak sampai memabukkan? Analasis demikian pernah disampaikan MUI Jawa Timur ketika diminta menilai disertasi tentang rokok di Universitas Airlangga, Surabaya.
Bila muskir, kata Abdurrahman, ulama sepakat, hukumnya haram. Tapi, bila hanya mudhir, tidak bisa langsung disimpulkan haram. Tergantung kadar bahayanya. Dianalogikan dengan kandungan formalin dan zat kimia lainnya dalam makanan. Bila dalam dosis wajar dan tidak terlalu berbahaya, statusnya halal. Tapi, bila melampaui standar sehingga sampai mematikan, baru haram.
Rokok dinilai tidak ''memabukkan'', tapi sekadar ''membahayakan''. Kadar bahanya pun bersifat kasuistis. Sekretaris MUI Jakarta, Cholil Nafis, menambahkan variabel lain yang membuat barang konsumsi dikategorikan haram. Selain memabukkan, juga najis. Rokok tidak sampai memabukkan dan tidak najis.
Maka, hukum rokok tidak sampai haram mutlak. Diusulkan, hukum dasarnya makruh (dikerjakan tak berdosa, ditinggalkan berpahala). Paling maksimal ''makruh tahrim''. Yakni makruh yang mendekati haram.
Konsep makruh tahrim dikenal dalam Madzhab Hanafiyah. Substansinya sama dengan haram, tapi tidak didukung dengan nash (ayat Al-Quran dan hadis Nabi) yang eksplisit menyebut haram. Makruh tahrim sempat diusulkan sebagai jalan tengah antara makruh dan haram. Perdebatan pada detik-detik akhir sidang komisi memang dikerucutkan pada dua opsi tersebut.
Pengerucutan diawali dengan menyisir kesepakatan, mengacu pada lima macam gradasi hukum dalam Islam: wajib, sunat, mubah, makruh, dan haram. Pimpinan sidang komisi, Prof. Amin Suma, menggiring peserta untuk bersepakat pada tiga hal: rokok tidak wajib, tidak sunat, dan tidak mubah. Sehingga hukum rokok tinggal sisa dua: makruh atau haram.
Setelah dilokalisasi jadi dua pilihan, tekanan dua faksi makin kencang. MUI Jawa Tengah dan Nusa Tenggara Barat menyampaikan ancaman tertulis, tidak akan bertanggung jawab dunia-akhirat bila rokok diharamkan.
Sekretaris MUI Jawa Tengah, Prof. Ahmad Rofiq, minta peserta memikirkan nasib ribuan keluarga yang ekonominya bergantung pada industri rokok, terutama di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Mengingat tidak ada dalil yang eksplisit dan spesifik mengharamkan rokok, ia mengusulkan, paling tinggi hukum rokok itu makruh.
Pendukung rokok haram juga meningkatkan tekanan. Buya Gusrizal Gazahar, Ketua MUI Sumatera Barat Bidang Fatwa, membantah bahwa makna umum dari ayat umum tidak bisa dijadikan pijakan dalil. Ia meminta konsistensi peserta yang mayoritas penganut Mazhab Syafi'iyah.
Dalam Syafi'iyah, katanya, petunjuk makna ayat umum (dilalah 'aammah) mengandung konklusi makna pasti (qath'y). Maka, ayat umum yang berisi larangan menceburkan diri dalam kerusakan atau larangan bunuh diri, misalnya, bisa dijadikan pijakan untuk mengharamkan rokok.
Puncak tekanan pendukung haramnya rokok terjadi ketika tuan rumah, pimpinan Perguruan Diniyyah Putri, Fauziah Fauzan, minta waktu bicara. Ia berorasi panjang lebar menantang keberanian peserta Ijtima' Ulama. ''Untuk apa kita berkumpul di sini kalau tidak berani memutuskan rokok haram,'' kata Fauziah.
Dalam suasana tegang, pimpinan rapat komisi menawarkan solusi dengan menyerahkan kesimpulan akhir kepada MUI Pusat. Sejumlah peserta berteriak setuju. Sebagian besar diam. Beberapa peserta lain masih mengacungkan tangan keberatan. Tapi palu sidang sudah diketokkan.
Dibentuklah tim perumus, yang bertugas menyiapkan laporan sidang komisi ke sidang pleno. Suasana kembali memanas ketika masuk sidang pleno. Tim perumus melaporkan, seluruh peserta Komisi B-1 sepakat, ''rokok dilarang''. Mereka hanya berbeda pendapat tentang tingkat larangan: makruh dan haram.
Dilaporkan pula, ''Jumhur atau mayoritas peserta berpendapat bahwa merokok adalah haram,'' kata Hasanuddin, sekretaris tim perumus. Disertai catatan tambahan, dari seluruh pendapat tertulis yang diterima tim perumus, 34 orang berpendapat haram, enam orang bependapat makruh. Tepuk tangan langsung bergemuruh.
''Peserta sepakat memberikan amanah kepada MUI Pusat untuk menetapkan fatwa haram atau makruhnya merokok,'' Hasanuddin menambahkan. Tim perumus mengusulkan jalan tengah. Pleno diminta menetapkan ''hukum asal'' merokok adalah haram. Namun implementasinya bertahap, sesuai dengan situasi tiap-tiap daerah.
Laporan tim perumus menuai reaksi. Cholil Nafis dari MUI Jakarta menilai, identifikasi jumhur setuju haram tidak valid. Ia menolak penyerahan kepada MUI Pusat, karena Ijtima' Ulama dipandang lebih tinggi dari Komisi Fatwa MUI Pusat.
KH Azis Masyhuri, pengasuh Pesantren Denanyar, Jombang, Jawa Timur, juga mengoreksi laporan tim perumus. Meski kuantitas pendukung rokok haram terlihat banyak, menurut Azis, tidak bisa dikatakan bahwa pendukung rokok makruh lemah. ''Dari sisi argumen, makruh dan haram sama-sama kuat,'' katanya.
Sebagian besar pendukung rokok haram, dalam pengambilan konklusinya (istidlal), hanya menggunakan petunjuk makna umum (dilalah 'aammah) dari ayat umum yang tidak spesifik mengharamkan rokok. Sedangkan penolak rokok haram memakai analisis detail (tafshil), mengurai 'illat hukum dengan cermat, menakar kadar ''bahaya'' rokok secara proporsional, serta mengecek ada tidaknya muatan muskir dan najis.
Karena itulah, kata Azis, sidang komisi bersepakat ''tidak memutuskan'' (mawquf). Laporan tim perumus bahwa komisi bersepakat ''rokok dilarang'', menurut Azis, tidak ada dalam sidang komisi.
KH Ma'ruf Amin yang memimpin sidang pleno akhirnya menawarkan dua kesimpulan. Pertama, hukum rokok khilaf antara makruh dan haram. Kedua, hukum rokok tidak diputuskan (tawaquf) dan akan dibahas dalam forum lain.
''Setuju khilaf?'' tanya Kiai Ma'ruf. ''Khilaf!'' kata ini paling lantang terdengar dari peserta. Dok! Ma'ruf mengetokkan tangan ke meja. ''Untuk sementara, kita katakan, ini khilaf antara haram dan makruh. Akan ada pembahasan lebih lanjut dalam pertemuan yang akan datang,'' ujarnya.
''Ada usulan supaya ada hukum merokok di depan umum,'' Ma'ruf menambahkan. ''Diusulkan, hukumnya haram. Setuju?'' Tak ada penolakan. ''Untuk wanita hamil juga haram. Setuju?'' Tak ada keberatan. ''Ketiga, untuk anak-anak haram. Setuju?'' Peserta kompak sepakat. Palu diketokkan. ''Urusan rokok sudah selesai!'' kata Ma'ruf, puas.
Tiba-tiba terdengar suara spontan, sayup-sayup di tengah peserta, tapi lama-lama kencang. ''Bagaimana kalau pengurus MUI merokok?'' tanya peserta. Kiai Ma'ruf langsung tertawa. ''Pengurus MUI juga haram merokok?'' tanyanya kepada forum, masih sambil terbahak. ''Pengurus MUI merokok, hukumnya haram atau khilaf?'' tanyanya.
Dalam suasana kalut, suara paling lantang yang terdengar dari peserta, ''Haram!'' Palu pun diketokkan. Tapi Ma'ruf tidak langsung menjelaskan ketokan palu itu atas pilihan mana. Beberapa peserta bertanya-tanya, mengapa semudah itu diputuskan bahwa pengurus MUI haram merokok.
Bila rokok untuk anak-anak, wanita hamil, dan di muka umum dikaji secara mendalam sebelumnya, rokok untuk pengurus MUI merupakan usulan spontan. Haramnya pengurus MUI merokok baru eksplisit dikemukan Ma'ruf setelah dikonfirmasi secara terbuka oleh Fauziah Fauzan, tuan rumah acara.
2 komentar:
Halal dan haramnya rokok lebih dikarenakan penafsiran tentang bahaya rokok, sementara dari sisi memabukan jelas tidak, ini yang membedakan rokok dengan miras/alkohol, lalu dampak menghilangkan/mengurangi kesadaran akal juga tidak sebagaimana ganja, morfin dan produk sejenis narkoba lain, untuk kesehatan; rokok dinyatakan bisa memicu timbulnya penyakit namun di lapangan juga terbukti tidak menimbulkan penyakit bagi sebagian besar perokok, sedangkan penyebab penyakit pada tubuh itu tidak tunggal melainkan kompleks oleh pola makan, gaya hidup,lingkungan tempat tinggal, akses terhadap gizi dll, sehingga rokok menurut saya cenderung halal.
Kalo rokok haram,,,lalu bagaimana dengan asap wewangian,,bagaimana dengan menghirup baygon semprot yang wangi, berarti juga haram donk? Kan juga mudharat.
Bagaimana juga dengan mencium asap kemenyan yang wangi,,di zaman rasul dulu banyak yang make kemenyan untuk pengharum ruangan..berarti haram juga donk? Karena lagi lagi itu asap dan bahan kimia yang kita hirup karena wangi.
Jadi rokok adalah HARAM itu bukan keputusan yang tepat.
Jadi menurut saya rokok adalah MAKRUH. yang lebih baik di tinggalkan kalo mampu,,,,,toh ada pahala nya toh? Tertarik merokok atau tertarik pahala? Disinilah IMAN Di uji.
Post a Comment