Barangkali kita sudah tidak asing lagi mendengar istilah Jenglot. Yaitu, figur manusia super mini yang hanya seukuran 10-12 cm, yang konon katanya adalah fosil dari orang ‘berilmu’ tinggi yang menyusut dan memiliki kekuatan magis.
Tak hanya di Indonesia, Jenglot ternyata juga ada di Amerika Selatan. Mereka menyebutnya dengan istilah Tsansa. Bedanya, bila di Indonesia adalah wujud tubuh utuh yang menyusut, namun si Tsansa (Jenglot di Amerika Selatan) ini hanya bagian kepalanya yang menyusut. Beda lainnya juga yakni, Jenglot Indonesia belum ada atau bisa dibuktikan secara ilmiah proses penyusutannya (masih menjadi misteri), sebaliknya kepala menyusut atau Shrunken Head di Amerika Selatan proses penyusutannya dapat di jelaskan secara ilmiah dan bukan karena ‘Hal Magis’.
Kepala menyusut, atau shrunken head awalnya menjadi mitos yang sangat menakutkan di kawasan Amerika. Dulu, para penjelajah di kawasan Barat Amerika ngeri bila harus bertemu dengan suku Indian karena dua hal: kepala yang dikuliti (scalp) dan kepala yang dibuat kecil hingga seukuran bola tenis atau lebih kecil lagi.
Namun perlu diketahui bahwa tidak semua suku Indian mempraktekan aksi brutal tersebut. Legenda mengenai shrunken head menyebar di daerah Amerika Selatan, tepatnya di hutan hujan Amazon. Di tempat ini terdapat suku Shuar, Achuar, Huambisa, dan Aguaruna yang suka memburu kepala manusia untuk disusutkan. Mereka menyebutnya Tsansa (tzantza).
Nah, dalam edisi terbaru jurnal Archaeological and Anthropoligcal Sciences, para peneliti telah menganalisa bukti DNA yang mengungkapkan kisah legenda suku pemburu kepala di Amazon memang nyata.
Suku-suku tersebut membuat kepala jadi mengecil tidak dengan cara magis, tetapi dengan menghilangkan tengkorak dari kepala (setelah memenggal kepala musuh). Sayatan dibuat di bagian belakang leher dan semua kulit dan daging akan dihapus dari tempurung kepala. Biji merah ditempatkan di bawah kelopak mata dan kelopak mata yang dijahit tertutup.
Lalu bola kayu akan ditempatkan sebagai pengganti tengkorak untuk membentuk kepala ‘baru’ yang lebih kecil. Daging tersebut kemudian direbus dalam air yang telah diisi dengan sejumlah jamu yang mengandung tanin.
“Setelah dipenggal, kepala musuh dengan teliti diciutkan melalui proses perebusan dan pemanasan dalam perayaan spiritual. Ini bertujuan agar roh jahat musuh terkunci. Proses ini juga untuk melindungi pembunuhnya dari balas dendam roh musuh,” papar Gila Kahila Bar-Gal, penulis penelitian kepada Discovery News.
Konon, praktek tsansa ini memiliki makna keagamaan. Menyusutkan kepala musuh diyakini bisa mengambil semangat (spirit) si korban dan memaksanya melayani sang pemilik kepala. Hal ini juga untuk mencegah jiwa korban membalas kematiannya.
Penguasaan orang kulit putih di Amerika sempat menambah buruk perlakuan biadab ini. Orang kulit putih ternyata gemar mengoleksi tsansa, sehingga banyak praktek jual-beli tsansa. Dilaporkan, di tahun 1930-an harga sebuah tsansa hanya dibandrol 25 dollar saja.
Meningkatnya permintaan pasar juga membuat beberapa orang di Panama dan Kolombia membuat tsansa palsu. Mereka menggunakan mayat dari rumah duka atau kepala monyet. Seorang peneliti, Kate Duncan sempat menulis, “Diperkirakan bahwa sekitar 80 persen tsantsa di tangan swasta dan museum adalah palsu.”
Untungnya pemerintah Peru dan Ekuador telah melarang praktek ini.
Bagaimana dengan Jenglot di Indonesia? Apakah proses penyusutannya sama juga dengan Jenglot di Amerika Selatan?
Source: palingseru.com
0 komentar:
Post a Comment